Laman

Hikmah Ikhlas

Jumat, 02 September 2011

Anakku Ingin Jadi TKI


Oleh: Ica Alifah

            Hamparan sawah dipenuhi padi yang menguning. Merunduk patuh pada titah Tuhannya. Hawa dingin menggigit tulang. Embun pagi turun perlahan singgah di sela-sela dedaunan dan rumput-rumput hijau. Burung-burung bersenandung riang, menambah indah suasana pagi. Berangsur-angsur matahari tampak malas merangkak pelan. Tak ada yang kurang di desaku. Masih tetap indah. Masih tetap bersahaja. Namun nyanyian kehidupan begitu berbeda.

Garis takdir menggores tanpa jelas. Hidup kami yang bahagia berubah seketika. Ketika ayah dari anak-anakku, pergi untuk selamanya dan apa yang menjadi hak milik kami direbut orang yang tak punya belas kasih sedikit pun. Kehidupan mulai terasa suram. Beban hidup menghimpit tanpa ampun. Waktu berlalu dengan lambat, tapi pelan-pelan menjerat leherku dengan begitu banyak permasalahan hidup.
            “Mak, biarlah Narsih yang bekerja. Kemarin Wiwik temanku yang bekerja menjadi TKI di Arab pulang mak. Katanya lebih enak bekerja menjadi TKI dari pada bersawah. Gajinya besar. Bolehkah mak?” Tanya sulungku.
            Aku terdiam. Belum bisa menjawab pertanyaan si sulung. Sebenarnya jika masih bisa bekerja di desa aku tak akan pernah mau membiarkan anakku menjadi TKI di negeri orang. Begitu banyak kejadian menyakitkan yang kulihat di berita-berita yang di siarkan di TV. Badanku merinding melihat kisah menyayat itu.
Terbayang olehku jika saja Narsih diperlakukan seperti korban-korban kekerasan itu. Pasti aku menyesal telah mengizinkannya untuk menjadi TKI. Tetapi banyaknya kebutuhan hidup yang terus mendesak membuat dadaku sesak. Membesarkan ke-8 anakku tentu memerlukan uang yang tidak sedikit. Untuk pendidikan mereka dan agar dapur mengepul setiap hari. Sementara aku hanya petani kecil yang menumpang bercocok tanam di lahan orang. Panghasilanku tidak seberapa.
            “Bagaimana mak? Boleh tidak Narsih jadi TKI. Kata si Wiwik syaratnya tidak susah mak, nanti dia akan membantu katanya.” Si sulung menjelaskan.
            “Coba kamu pikirkan lagi nduk… bukannya emak tidak mengizinkan kamu. Tapi kamu tahu sendirikan. Menjadi TKI itu tidak mudah. Banyak juga yang nasibnya kurang baik. Disiksa oleh majikannya. Emak tak mau kamu seperti itu.” Aku menjelaskan.
            Kami diam sejenak.
            “Tok…tok…tok… Assalamu’alaikum….”
            Terdengar suara dari luar rumah… tampaknya ada tamu yang datang. Bergegas aku membukakan pintu.
            “Buk, Narsih ada?” Wiwik bertanya.
            “Ada, tunggu sebentar saya panggilkan.” Jawabku.
            Aku berjalan ke dapur, tempat aku dan si sulung berbincang tadi. Kukatakan pada si sulung bahwa temannya mencarinya.
            “Mak… pikirkan lagi ya… Narsih akan cari informasi yang jelas tentang keberangkatan TKI dalam waktu dekat ini. Narsih pamit dulu ya mak.” Ujarnya sambil mencium tanganku untuk berpamitan.
***
            Hari ini ada sosialisasi dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) di desa kami. Berbondong-bondong warga memadati balai desa. Pertemuan itu di mulai jam 9 pagi. Tampak seorang petugas pemerintah itu begitu cakap menjelaskan tentang masalah TKI ini.
            “Baiklah setelah apa yang saya jelaskan tadi. Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara sekalian ada yang hendak ditanyakan? Silahkan saja tanya… jangan malu-malu.” Ucapnya, ramah sekali.
            Aku mengacungkan tanganku. Dengan senyum ia mempersilahkanku untuk berbicara. Aku berdiri dan menyebutkan namaku. Lalu bertanya.
            “Penjelasan dari bapak sudah sangat jelas dan lengkap bagi saya, tapi saya tetap takut mengizinkan anak saya untuk menjadi TKI, melihat banyaknya kasus penyiksaan, terutama terhadap TKW. Ada tidak pak caranya agar anak-anak kami yang menjadi TKI terhindar dari penyiksaan?” Tanyaku padanya.
            Petugas pemerintah itu berdiri dan menjelaskan.
“Sebenarnya dimanapun kita bekerja, resiko itu selalu ada buk. Apalagi jika bekerja di luar negeri yang jauh dari kerabat dan sanak saudara. Karena itu, Pemerintah berkeyakinan bahwa hanya TKI rumah tangga yang memiliki keterampilan dan kecakapan bahasa yang siap untuk bekerja di luar negeri. Nah, maka dari itu setiap calon TKI yang akan diberangkatkan haruslah memiliki keterampilan dan berangkat dengan dokumen lengkap bukan secara ilegal untuk menghindari kekerasan terhadap TKI kita.” Panjang lebar petugas pemerintah itu menjelaskan.
Kami masih menyimak. Takjub dengan petugas pemerintah yang kelihatan cerdas ini. Semua mata tertuju padanya.
“Selain itu, BNP2TKI juga sudah membentuk Kelompok Berlatih Berbasis Masyarakat (KBBM) untuk mempersiapkan calon TKI sektor rumah tangga agar memiliki skill dan siap kerja di negara penempatan. Dengan adanya kesiapan skill, bahasa dan pemahaman budaya, yang dibuktikan dengan Sertifikat Pelatihan dan Sertifikat Uji Kompetensi, maka dijamin tidak akan banyak TKI yang mengalami masalah di tempat kerjanya. Penguasaan skill ini akan menjadi self protection yang utama bagi calon TKI yang akan bekerja di luar negeri.” Sambungnya lagi, tak kalah panjang dari penjelasan yang pertama. Benar-benar meyakinkan.
Aku dan warga menganguk-angguk. Tanda mengerti dengan penjelasannya. Walau kami tak mengerti dengan arti self protection[1] bahasa asing yang diucapkannya. Tapi kedengarannya bagus. Tidak apa-apa.
***
            Aku legah setelah mendengarkan penjelasan tadi pagi. Mungkin memang benar kata petugas pemerintah itu. Para TKI harus berangkat dengan dokumen lengkap bukan secara ilegal.
            “Mak, bagaimana, mak sudah bisa putuskan boleh atau tidak Narsih berangkat?” si sulung bertanya lagi.
            “Baiklah nduk, emak izinkan kamu berangkat. Andai kamu memang ingin jadi TKI, jadilah TKI yang benar, mandiri dan berani.” Ujarku pada anakku itu.
            “Iya mak. Do’akan saja Narsih. Besok kami mengurus dokumen keberangkatan mak. Mak relakan?”si sulung terisak.
            “Iya… insya Allah.”
            Kupeluk anak sulungku itu. Air mataku bercucuran. Terbayang olehku sebentar lagi dia akan pergi jauh dari sini. Hanya untuk membanting tulang. Menjadi pahlawan devisa.***

-Jumlah 828 kata-
Tema Andai anakku jadi TKI, jadilah TKI yang benar, mandiri dan berani.

Biodata Penulis
Nama Lengkap     : Lysa Simanjuntak (Nama untuk di Sertifikat)
Nama Pena            : Ica Alifah
TTL                       : Padangsidempuan, 7 Agustus 1986
Pekerjaan              : Mahasiswi Pascasarjana IPB (Institut Pertanian Bogor)
Alamat Surat         : Jalan Raya Dramaga Asrama Melati N0.48 Depan Kampus IPB
                               RT. 02 RW. 06 Babakan Doneng Dramaga Bogor, Jawa Barat 16680 
No. HP                  : 085365018794
Alamat Email        : lysa_bdp04@yahoo.com
Blog                      : http://akhowatberhatibaja.blogspot.com/
FB                         : Ica bdp






[1] Perlindungan diri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar