Laman

Hikmah Ikhlas

Jumat, 10 Juni 2011

Penantian Rangga


Tadinya mau buat Paper tugas kuliah untuk besok, nggak taunya kok jadi cerpen ya... wkwkwk... dari pada mubazir... titip di sini ya... siap2kan tisu ama bawang bombay... hihihi :P

Penantian Rangga
Oleh Ica Alifah

“Kak, tadi Adek udah ke tempat Bang Dani yang Kak Nisa rekomendasikan kemarin. Ujarnya bersemangat. “Kak… Abang itu belum nikah lho, tunggu apalagi…! tambahnya.
“Oo… bagus kalau begitu. Bilang sama dia, tunggu setahun lagi.” Ujarku bercanda.
“Nggak boleh… Kakak untuk Adek, nggak boleh sama yang lain.” Balasnya.
“Memangnya makanan.” Celetukku sembarangan.  Kami tertawa.

Dia, Rangga Anggoro. Adik kelasku di kampus dulu. Usia kami berjarak 3 tahun. Sudah lama kami berteman. Adik kecil yang manis, selalu menjadi teman bercerita setiap kekesalanku atau bait-bait kisah bahagiaku. Sementara yang ia butuhkan dariku adalah motivasi, sebab menurutnya apa yang ada pada diriku mengagumkan, berlebihan dia. Simbiosis mutualisme. Begitulah kami. 

Waktu terus berlalu. Tanpa kusadari anak manja itu sudah semakin dewasa sekarang. Padahal aku selalu mengejeknya dengan sebutan anak kecil. Dia tidak pernah marah, barangkali senang kupanggil dengan sebutan seperti itu. Tapi sekarang ia sudah mulai protes.
“Kak… sedih kenapa?” tanyanya penasaran.

“Nggak… terkadang tak semua urusan orang dewasa bisa diceritakan pada anak kecil sepertimu.” Jawabku.
“Kak… Rangga udah gede tau.” Dia protes. “Kecal-kecil, kecal-kecil terus… huh.”
“Kamu itu memang masih kecil. Sudahlah Adik kecil, Kakak lagi nggak mood mau cerita.” Kututup telponku.

Aku tipe orang yang susah mendapatkan teman. Tertutup. Tapi jika dengan Rangga aku tak segan-segan bercerita. Dia tahu apa saja tentangku. Keluargaku, penyakitku, mimpi-mimpiku. Hanya satu yang ia tak tahu. Cinta.

“Tenang aja Kak… kalau nggak ada yang mau sama Kakak kan masih ada Rangga.” Ujarnya ngelantur. “Ngelamar anak S2 siapa takut…!” Tambahnya lagi.
Ah… anak kecil seperti dia tahu apa? ngomong seenaknya saja. Terkadang becandaannya bikin aku kesal. Huft.

Aku seorang gadis biasa, 25 tahun sudah usiaku, belum bekerja sebab dengan semangat membara aku melanjutkan kuliah ke jenjang Pascasarjana. Di perantauan ini, hanya sendiri. Sepi? Tentu saja. Itulah alasanya mengapa Rangga menjadi tumpuanku. Hampir 24 jam dia siap mendengarkanku. Hampir ya… bukan penuh… jam-jam tidur dia tidak bisa diganggu. Tidurnya seperti batu. Jika di SMS atau telepon pasti dia tidak mendengarnya. Sebel.

“Ngga… sakit Kak Nisa kambuh lagi.” Kutuliskan pesan singkat untuknya.
“Kan udah Rangga bilang Kak… makannya harus teratur, istirahat yang cukup, jangan stress. Kakak sih, bandel amat.” Balasnya.
“Rangga kan tau, Kakak penyakitan. Kok rasanya sering terpikir usia Kak Nisa nggak lama lagi ya Ngga?”
Astaghfirullah Kak… nggak boleh gitu atuh. Baru aja kemarin Kak Nisa nasehatin Rangga buat banyak-banyak bersyukur. Sekarang Kakak ngomongnya gitu. Penyakit itu bisa jadi penghapus dosa Kak, kalau Kak Nisa bersabar.” Nasehatnya padaku.
“Boleh Kak Nisa katakan sesuatu?” kukirimkan lagi pesan pendek.
“Ya Kak. Boleh.”
“Ternyata Rangga udah dewasa. Kak Nisa baru tau. Haha.”
“Iiih… tak kirain apaan. Kak Nisa ini.”

Waktu berjalan tanpa terasa, persahabatanku dengan Rangga semakin erat. Rahma sahabat baikku protes.
“Nisa… kalau kamu mau cerita apa-apa hubungi aku saja. Sudah, lupakan anak itu…!” ujar Rahma sewot.
“Memang kenapa sih? aku juga sering cerita denganmu kan? Dia itu Adikku Rahma… nggak ada apa-apa kok.” Aku membela diri.
“Nis… dia bukan Adikmu… kau tak punya Adik laki-laki. Kau anak semata wayang. Dia orang lain, bukan siapa-siapa…!”
“Tapi dia juga sahabatku…! Aku marah pada Rahma.
“Tak kau ingat pesan Ustadzah Irma? Ada batasan interaksi antara laki-laki dan perempuan. Tak ingat lagi? Apa perlu kuulang?” Rahma kesal.
“Terserah kau saja mau menganggap apa…! aku hanya menganggapnya sebagai Adikku. Titik.”
“Benar… aku tak meragukanmu sedikitpun. Bagaimana dengan dia?” Rahma menatapku tajam. “Rambut boleh sama hitam Nisa, hati siapa yang tahu?”
Aku terdiam. Apakah benar apa yang dikatakan Rahma? gumamku dalam hati.

***
“Rangga, 2 minggu lagi datang ke rumah Kak Nisa ya.” SMS-ku.
 “Ada acara apa Kak?”
“Pernikahan.” Jawabku.
SMS-ku lama tidak dibalas oleh Rangga. Tak seperti biasanya. 10 menit kemudian.
“Siapa yang menikah Kak? Kak Nisa kah?” tanyanya.
“Bukan… Adik sepupu Kak Nisa.” Balasku.
Baru sebentar aku balas SMS-nya, dia sudah menjawab.
“Alhamdulillah… Rangga kira Kak Nisa, hampir melayang nih HP. Hancur berkeping-keping hatiku. Hehe… bercanda Kak.”

Semakin hari gelagat Rangga semakin aneh saja. Sebentar-sebentar dia bilang, Kak Nisa pokoknya milik Rangga, nggak boleh ada yang ganggu…!” lain hari lagi… “Kakak sabar dulu ya, sebentar lagi Rangga tamat.” Kapan-kapan waktu, dia bilang, “Kakak jangan lupa berdo’a sama Allah minta apa saja yang Kakak mau, sebab Allah memiliki apa saja.” Aku bingung dengan anak yang satu ini, terkadang dia seperti anak kecil, dilain waktu dia sangat dewasa. Tapi tetap saja dia sudah kuanggap seperti Adikku sendiri.

Sementara Rahma masih marah padaku. Entah mengapa dia tak suka persahabatanku dengan Rangga. Apa dia merasa tersaingi oleh Rangga? Bukankah apa yang kuceritakan pada Rangga juga kuceritakan padanya? Aku masih belum mengerti kemarahan Rahma yang tak beralasan. Semoga suatu hari nanti Rahma mengerti bahwa aku dan Rangga hanya berteman. Tak lebih.

***
“Kak… Kak Nisa tau…? kenapa ya, sepertinya Rangga jatuh cinta sama Kakak.” SMS Rangga tepat ditengah malam.
“Sudahlah Rangga… malam-malam begini nggak usah bercanda…! Kak Nisa mau tidur.” Balasku.
“Kak… kali ini serius Kak. Suer deh.” Balasnya lagi.
Deg… jantungku tiba-tiba tersentak. Kubaca sekali lagi SMS dari Rangga.
“Kakak mau menikah dengan Rangga? Jawab ya Kak…!” tambahnya lagi.
Astaghfirullah… ternyata apa yang dikatakan Rahma benar. Aku tak pernah menyangka akan begini jadinya. Manusia pasti punya rasa, kedekatan kami selama ini bisa saja menumbuhkan benih-benih cinta. Itu yang tak terpikirkan olehku. Sebab kusangka selama ini dia mengaggapku seperti kakaknya sendiri. Ternyata….
“Maaf ya Rangga… Kak Nisa lupa bilang. Sebulan lagi Kak Nisa menikah. Rangga tadi cuma bercandakan? Kak Nisa tau, Ranggakan sering begitu.” Balasku.
“Kak Nisa jahat… kan Rangga udah sering bilang. Kakak untuk Rangga…! Kenapa menikah sama orang lain?”
“Lho… kok??” aku pura-pura tak tahu.
“Mulai sekarang Rangga nggak mau bicara sama Kakak lagi. Kecewa…!”

Ah… akhirnya persabatan ini pun berakhir. Sebulan sudah Rangga tak pernah menghubungiku. Tampaknya dia benar-benar kecewa. Aku pun tak bisa menghubungi karena nomor HP-nya barangkali sudah berganti. Aku khawatir padanya. Apakah dia baik-baik saja.

Tiba-tiba HP-ku bergetar.
“Kak… Ma’afkan Rangga. Terlalu sakit ditinggalkan oleh Kakak… mungkin kita tak akan pernah bertemu lagi. Selamat tinggal. RANGGA.”

Apa maksud dari SMS ini? Aku panik. Macam-macam yang terlintas di benakku. Apa yang akan Rangga lakukan? Bunuh dirikah… dengan cara apa? Menggantung diri? Nyebur ke sungai? Melompat dari Mall 10 lantai, menyayat pergelangan tangannya atau apa? mengapa tidak bisa bertemu lagi?

            ***
Tiga tahun kemudian

“Kak… Benarkan kita tak pernah bertemu lagi? Rangga di luar negeri Kak… Kak Nisa cemaskah selama ini? Itu balasan atas kekejaman Kakak pada Rangga.” SMS pertama datang. Tak lama berselang SMS kedua datang. Tapi terimakasih Kak… karena kecewa pada Kakak, Rangga bisa mengejar mimpi seperti cerita yang sering Kak Nisa katakan dulu, melanjutkan kuliah di luar Negeri.” Belum lama SMS ke-3 datang lagi. “Rangga dengar Kak Nisa tak jadi menikah. Benarkah? Mau menikah dengan Rangga? Jawab ya Kak…!”

HP itu hanya tergeletak di atas meja. Masih dalam keadaan aktif. Berbeda dengan pemiliknya. Baru semalam bersemayam dipusara terakhirnya.***


Thanks to
My little Brother Rangga... 
You are my inspiration ^_~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar