Laman

Hikmah Ikhlas

Sabtu, 05 Februari 2011

Kisah ini Diikutkan Dalam Sayembara Menulis Pengalaman Pribadi




“Astaghfirullah, Aku Gagal Lagi”

Oleh: Ica Alifah

Izinkanlah aku untuk menceritakan kisah yang sungguh tak terlupakan. Saat kisah ini kutulis, aku sedang meneruskan pendidikanku di program Pascasarjana pada salah satu Universitas terbaik di Negeri ini. Sesungguhnya Allah mengikuti prasangka hamba-hambanya. Maka, berprasangka baiklah kepada-Nya. Sehingga setiap cobaan yang datang padamu, akan dapat kau ambil hikmahnya. Aku akan mulai bercerita. Maka simaklah dengan baik. Kuharap siapa pun yang membaca kisahku ini, dapat memetik manfaatnya. Amin.
Aku beri tahu padamu. Sesungguhnya sebagian besar mahasiswa yang tergolong kurang berada, pasti ingin lulus dengan cepat dan mendapatkan nilai yang tinggi. Salah satu tujuannya adalah agar setelah tamat bisa segera mencari kerja dan berpenghasilan layak. Malu terus-terusan menjadi beban orang tua. Begitu juga denganku. Aku anak ke-2 dari 6 bersaudara. Berderet-deret 4 orang lagi adikku yang masih kuliah dan bersekolah. Aku tahu sekali betapa beratnya ayah dan ibuku membanting tulang, untuk memenuhi begitu banyak kebutuhan hidup dan pendidikan kami.
Aku masih ingat beberapa tahun yang lalu. Saat menunggu pengumuman lulus SMU, dengan langkah yang berat aku menghadap ayah.
“Yah, kalau Sa lulus nanti, boleh tidak Sa lanjut kuliah?” tanyaku.
“Ya, kalau nilaimu sampai, nanti kita coba. Kalau tidak, ya mungkin lebih baik kamu bekerja saja.” Jawab ayah datar.
Aku tahu, ayah yang latar belakang pendidikannya cukup, pasti ingin anaknya berpendidikan lebih tinggi minimal sepertinya. Tapi apa boleh dikata. Saat itu beliau hanya seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil). Sebenarnya gajinya tidak sedikit untuk ukuran PNS dengan 2 anak. Namun anak ayahku lebih dari 2. Bisa dibayangkan bagaimana susahnya. Untuk membuat dapur mengepul saja, nafasnya sudah tersengal-sengal. Kehidupan ini benar-benar keras.
Tapi sekali lagi rasa syukurku tak hingga kepada Allah. Memberikan kami seorang ibu yang paling kreatif sedunia. Semua tanaman di pekarangan rumah kami yang bisa dimakan, bisa disulap ibuku menjadi makanan yang enak. Mulai dari buah nangka, buah pisang, jantung pisang, ubi, jamur kayu, daun pucuk ubi, daun katu, daun papaya dan daun-daun yang lainnya, bisa dimasaknya. Sedikit banyak menghindarkan kami dari kelaparan. Ibuku itu pun pandai berdiplomasi, sehingga terkadang beliau boleh berhutang di warung terdekat. Terpaksa. Gali lobang tutup lobang. Begitulah keadaan ekonomi keluarga kami. Sehingga mustahil sekali aku bisa berkuliah.
Sebulan setelah pengumuman kelulusan SMU aku beranikan diri mengatakan kepada ayah agar beliau mengizinkanku mengikuti tes masuk Perguruan Tinggi. Boleh saja, katanya. Tapi jangan kecewa jika tidak lulus. Pesannya saat itu. Aku mengangguk mengamini apa yang dikatakannya.
Pengumuman kelulusan ujian masuk Perguruan Tinggi pun tiba. Aku gelisah menantikan hasilnya. Dari semalam aku tak bisa tidur. Pagi-pagi sekali aku sudah seperti cacing kepanasan mondar-mandir di dalam rumah. Kulihat ayah sedang sibuk dengan motor bututnya, motor pemberian kakek. Ada satu lagi barang butut di rumah kami. Mobil berwarna merah yang seringkali mogok, itu pun peninggalan dari kakek. Aku sebal sekali melihat mobil itu. Tapi seringkali si merah itu memudahkan kami dalam berpergian jauh.
“Yah, kata temanku pengumuman kelulusan terbit di koran hari ini yah. Sa minta tolong belikan koran yah.” Ujarku pada ayah.
Ayahku diam saja. Dia masih sibuk dengan motornya.
“Yah, belikan dong, siapa tahu Sa lulus.”
“Sudahlah, tidak akan lulus.” Jawab ayah dingin.
Aku kecewa sekali dengan jawaban ayah. Sepertinya himpitan ekonomi membuatnya berharap aku tidak usah lulus saja. Aku masuk ke kamarku. Tak sadar bulir-bulir bening di sudut mataku tumpah. Aku sangat berharap bisa lanjut kuliah.
Tak berapa lama aku mendengar suara motor ayah pergi. 15 menit kemudian kembali. Setengah berlari adikku datang menghampiriku dengan membawa koran yang aku pesan tadi. Ternyata ayah membelikannya untukku. Dengan jantung berdebar-debar mataku menyapu semua nama yang tertulis di lembaran koran itu. Aku bersyukur sekali namaku ada tercantum di sana. Risa Alifah dengan nomor ujian 0404-110-788. Lulus di Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Negeri di kotaku. Aku tersungkur bersujud. Alhamdulillah, terimakasih ya Allah.
Kulirik syarat-syarat untuk pendaftaran awal. Uang pembayaran untuk kuliah RP. 600.000,00. Mataku terbelalak. Ditahun 2004, uang sebanyak itu mungkin hampir separoh lebih gaji ayahku. Ya tentu saja setelah dipotong hutang di sana sini. Aku terdiam. Bagaimana caranya menyampaikan pada ayah betapa mahalnya biaya kuliah ini. Sama saja dengan menghabiskan gaji ayah. Bagaimana dengan makan kami nanti. Kepalaku pusing memikirkannya.
***
Lupakan saja cerita sedih itu. Kini aku sudah kuliah ditingkat 3. Paman, adik laki-laki ayah membantu sebagian uang kuliahku. Ayah dan ibuku juga bukan orang yang mudah putus asa. Berbagai macam usaha telah mereka coba untuk menambah penghasilan. Walaupun gagal semua. Mulai dari usaha menjual es lilin, buka usaha menjahit, buka warung, jualan pecel lele, usaha kredit baju, jualan ikan asin dan jualan cabe di pasar. Mungkin memang belum rezeki. Tapi kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Sampai kini (insya Allah) usaha ayah dan ibuku mulai berhasil. Usahan penjualan pulsa dan toko baju. Dari situlah biaya kami ke-6 anaknya terus mengalir. Atas izin Allah semua bisa terjadi.
Walaupun keluarga kami sudah mulai berkecukupan. Aku malu jika terus-terusan meminta uang kepada ayah. Aku pernah bilang pada ayah agar mengizinkanku bekerja untuk mencari uang tambahan, ayah menolaknya.
“Belajar saja kalian yang rajin. Masalah uang biar ayah saja yang cari. Setiap anak ada rezekinya. Dan untuk pendidikan tidak ada rumusnya. Kalau kau mau, akan ayah sekolahkan hingga S3.” Ujar ayah suatu hari padaku. Maksud ayah adalah pendidikan itu tidak bisa ditawar-tawar, kalian semua harus sekolah yang tinggi.
Sejak awal masuk kuliah, kubulatkan tekad agar dapat lulus paling cepat. Target 3,5 tahun aku harus sudah tamat. Tidak mustahil. Semua strategi kuliah agar cepat selesai sudah kurancang. Terbukti dalam setiap semester aku selalu lebih dulu beberapa langkah dari teman-teman kuliahku. Melihat semangatku yang kuat, mereka sangat optimis kalau aku pasti bisa mewujudkan mimpiku itu. Namun takdir berkata lain.
“Sa, katamu 3,5 tahun bisa selesai. Sekarang sudah semester berapa?” ujar ibu melalui sambungan telepon. Beliau selalu saja bertanya setiap kali semester berganti.
“Semester 6 bu, Sa lagi menyiapkan proposal penelitian, do’akan saja.”
Aku beritahu lagi padamu. Ternyata penelitian dengan objek mahluk hidup tak bisa diprediksi teman. Satu semester pun berlalu. Target 3,5 tahunku sempurna gagalnya. Penelitianku belum juga berhasil. Bagaimana tidak. Induk ikan tambakan yang nama latinnya Helostoma temmincki itu susah sekali dicari. Aku, ibu, ayah dan si bungsu berburu ikan itu hingga ke hutan sawit. Seharian perjalanan hanya untuk mencarinya. Namun susah payah itu berujung tragedi. Semua ikan yang aku dapatkan mati di tengah jalan. Ikan-ikan itu berakhir di kuali penggorengan ibuku. Menangis aku memakan ikan goreng sambal hijau buatan ibuku yang enak itu. Astaghfirullah, aku gagal lagi wisuda disemester ini.
Tak ada kata menyerah bagiku. Dunia belum berakhir. Dengan bantuan teman ayah, aku dapatkan ikan tambakan 50 ekor lebih. Ikan-ikan itu aku pelihara sementara di kolam percobaan Fakultasku. Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Musim penghujan. Suasana yang sangat cocok bagi ikan tambakan untuk bertelur. Aku mulai penelitianku. Beberapa hari aku dan teman-temanku bergadang di laboratorium. Dengan waktu yang telah ditentukan, kusuntik ikan itu dengan dosis yang sesuai. Saatnya menunggu si betina mengeluarkan telur jika diurut pada bagian perutnya. Tak bisa aku tidur sepicing pun. Mataku hanya mengamati induk ikan itu. Ikan itu mencium-cium kaca akuarium, dower sekali bibirnya. Mungkin karena itu dalam bahasa internasional ikan ini disebut Kissing Gouramy.
Waktu menunjukkan pukul 8 pagi sekarang. Mestinya telur sudah bisa keluar. Aku urut bagian perut ikan dari atas ke bawah. Namun masih belum bisa. Beberapa jam kedepan aku tunggu lagi dengan sabar. Juga tidak bisa. Astaghfirullah aku gagal lagi.
***
Setiap hari ibu menanyakan kabar tentang penelitianku. Oh iya… aku belum cerita. Saat aku masih disemester 6 ayah dan ibu serta si bungsu tidak tinggal bersama dengan kami lagi. Ayahku pindah tugas keluar kota karena ingin merubah nasib karirnya yang tidak ada perkembangan di sini. Maka hampir setiap hari ibu menelepon kami. Bagaimana tidak. Kami hanya berempat. Perempuan semua pula. Was-was rasanya ibu meninggalkan kami. Sementara abangku masih berkuliah di Medan di tempat pamanku yang baik hati itu.
Semakin hari, semakin sering ibu bertanya kapan aku lulus. Rasanya aku semakin pusing. Ibu tidak salah. Beliau tidak pernah kuliah, jadi mungkin tidak mengerti bagaimana susahnya penelitian. Sedangkan ayahku diam saja. Mungkin beliau maklum. Aku harus bangkit lagi, cobaan ini belum seberapa. Akhirnya penelitianku yang entah untuk keberapa kalinya berhasil. Aku segera mengejar target, sibuk dengan perbaikan skripsiku. Pokoknya semester ini harus menjadi semester yang terakhir. Tetapi tidak semudah mengatakannya… baru beberapa minggu penelitianku selesai, aku harus menginap di rumah sakit. Gejala demam berdarah dan types. Ya Allah… mengapa cobaan ini tak habis-habisnya. Aku membatin.
Tidak terasa sekarang sudah semester 9. Jauh sekali dari target yang kubuat. Aku tak tahu lagi, apakah aku bisa lulus atau tidak. Aku mulai putus asa.
“Sudahlah, istirahat saja dulu. Jangan terlalu dipikirkan masalah lulus tak lulus itu.” Ujar Rahma teman pengajianku.
“Iya, kamu tidak boleh banyak pikiran dulu Sa. Ambil hikmahnya. Mungkin Allah memang merancang sakit ini, agar kau bisa istirahat.” Lola menambahi.
Aku hanya bisa tersenyum.
Seminggu berlalu. Akhirnya Dokter mengizinkanku untuk pulang. Sesampainya di rumah, kubuka laptopku. Kucoba merevisi kembali skripsiku. Tapi tak bertahan lama, kepalaku menjadi pusing. Tampaknya aku memang harus istirahat. Hanya butuh waktu seminggu, aku sudah kembali pulih. Namun sudah lama skripsiku terbengkalai.
Pagi ini aku berencana akan ke kampus. Namun entah mengapa, hatiku terasa tak enak. Tapi aku harus menemui Dosen. Aku berpamitan pada adik-adikku. Belum begitu jauh dari rumah. Sepeda motor yang aku kendarai oleng. Kecelakaan naas itu pun terjadi. Kaki kiriku terhimpit sepeda motor. Aku sudah terlentang di tengah jalan gang rumahku. Aku menatap ke arah lagit. Rasanya tidak percaya apa yang sedang terjadi. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kututup mataku. Rasanya aku ingin tidur saja. Tapi sekarang aku bukan sedang bermimpi. Ini benar-benar nyata. Rasa sakit di kakiku mulai terasa. Aku coba untuk berdiri. Tetapi tidak bisa. Sepeda motor itu terlalu berat. Apa yang bisa aku lakukan. Tidak ada siapa-siapa. Kuangkat sedikit badanku. Tampak seorang penjual kasur keliling berdiri di ujung jalan. Cukup jauh. Dia melihat ke arahku. Tapi belum sadar dengan apa yang terjadi.
“Tolong… tolong….” Teriakku.
Dengan cepat ia berlari ke arahku. Lalu seorang ibu tetangga jauhku dari arah yang berbeda berlari mendekatiku.
“Tolong pak… kaki saya terjepit tidak bisa lepas.”
Si bapak bingung bagaimana mengangkat motor itu. Sementara si ibu lebih ligat, dia tak peduli kakiku terjepit. Diangkatnya saja motor itu. Kakiku berbunyi. Aku yakin pasti kakiku patah. Benarkah ini nyata? Aku masih belum percaya. Berharap hanya mimpi.
Aku harus istirahat total. Harapan untuk wisuda semester ini lagi-lagi gagal. Banyak teman-temanku datang menjenguk. Aku hanya tertawa saja. Karena mereka pun tertawa. “Kami tidak sedih melihat kak Risa seperti ini. Kakak orangnya kuat dan semangat. Pasti ada hikmah di balik semua musibah ini. Percayalah kak.” Seorang adik kelas menghiburku.
Kaki boleh sakit, tapi otakku masih bisa berfikir. Allah punya jalan lain untukku. Aku masih harus berusaha lebih keras. Aku memang tidak bisa ke kampus. Maka beberapa orang adik kelas dan adik kandungku membantu mengantar jemput revisi skripsiku hampir setiap hari. Alhamdulillah, urusan skripsiku ketika aku sakit malah lebih lancar dibanding ketika aku sehat. Semuanya berjalan mulus. Akhirnya aku bisa wisuda semester ini.
***
Hari itu pun tiba. Satu persatu peserta wisuda dipanggil ke atas panggung. Seremonial serah terima ijazah. Aku sudah bilang pada panitia wisuda. Namaku tidak usah dipanggil saja. Soalnya aku tidak bisa naik, karena masih menggunakan tongkat. Aku takut jatuh.
“Kasihan kak Sa.” Ucap si bungsu.
Kulihat dia menangis, karena kakaknya tidak bisa naik ke atas panggung. Kulirik ibu di tempat duduknya. Beliau kebagian bangku paling belakang. Kulihat matanya berkaca-kaca. Mungkin kasihan juga melihatku. Namun, hal yang mengejutkan terjadi. Saat namaku dipanggil. Ibu Dosen Ketua Jurusanku dan Pak Dekan yang dari tadi berdiri membagikan ijazah di atas panggung itu pun turun. Mereka berjalan ke arahku. Para peserta wisuda dan tamu undangan bingung. Aku bukan pemuncak[1], mengapa diperlakukan begitu istimewa. Sampai-sampai pak Dekan sudi untuk turun ke bawah. Ternyata banyak yang tidak tahu. Kalau kakiku sedang sakit. Hehehe… karena tongkatku kusembunyikan di bawah kursi. Hari bersejarah. Kegagalan penuh hikmah.***




[1] Pemuncak artinya wisudawan/wisudawati yang nilainya paling tinggi saat diwisuda.






Naskah ke-7. TERSINGKIR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar