Laman

Hikmah Ikhlas

Senin, 31 Januari 2011

Cerpen: Bambang Pamungkas (pasti abis baca ini langsung kabur.. Hihihi)


Aku duduk di atas kasurku. Tiba-tiba keempat adikku menyerbu. Si nomor tiga duduk disebelah kanan. Ada buku di tangannya, mungkin tadi dia sedang membaca. Adikku yang ini berperawakan seperti orang timur tengah, hidungnya mancung berkulit putih, lebih mirip orang Palestina, begitu orang-orang berkata saat aku dan dia mengumpulkan sumbangan untuk Palestina di jalan raya beberapa waktu lalu.
Ya… beda-beda tipislah denganku, sebelas dua belas. Eits… yang kenal aku langsung protes. Mirip dari Hongkong katanya. Hmm… sekali-kali biarkan aku senang kenapa? Wkwkwk… baiklah aku mengaku, jauh beda denganku… kalian tertawa senang sekarang…? huhu.

Sedangkan si nomor empat duduk di sebelah kiri. Adikku yang ini lain lagi, perawakannya mirip orang Jerman, badan tinggi dan berkulit putih, matanya coklat… Dia memeluk boneka kura-kuranya. Sudah bersiap-siap mendengarkan ceritaku. Sedangkan si nomor lima dan enam duduk di depanku. Jadilah sebuah lingkaran kecil. Izinkan aku ceritakan sedikit tentang si nomor lima dan enam. Si nomor lima berperawakan seperti orang Cina kulitnya yang putih dan matanya agak sipit, badannya mungil, yang paling kecil diantara kami. Dia sedang sibuk mengunyah, ada setoples kecil kue kering di tangannya. Lain lagi si nomor enam… tubuhnya yang jangkung membuatnya terlihat seumuran dengan kakak-kakaknya. Padahal dia yang paling kecil. Si bungsu ini juga mirip blasteran. Mirip orang barat kata para tetangga kami. Singkat cerita semua adik-adikku menawan mirip warga keturunan sedangkan aku pengecualian.
“Kak ceritakanlah gimana proses ta’aruf kak Hafsyah kemarin?” Si bungsu membuka pembicaraan.
“Ya kak Syah, ceritakanlah… penasaran nih!” Si nomor empat ikut bicara.
“Kak Syah janji lho kmaren kalau pulang mau cerita!” Si nomor lima menagih.
Sementara si nomor tiga cuek saja. Asyik membaca buku yang tadi dia pegang. Judulnya “Kupinang Engkau Dengan Alqur’an.” Wuih… seru tuh nampaknya. Pantas saja dari tadi dia tak bergeming sedikit pun.
“Cepatlah kak….” Si bungsu memaksa.
Tau apa anak kecil ini… ingin sekali mendengar cerita orang dewasa. Dasar anak zaman sekarang. Aku membatin.
“Oke… oke… duduk manis dan dengarkan…!” Aku mulai bercerita.
“Waktu itu, kak Syah dihubungi umi Rahma, guru ngaji kakak. Kata beliau ada yang berniat baik untuk melamar. Umi Rahma memberikan lembaran kertas. Kak Syah baca, ternyata biodata. Dalam biodata itu tidak ada fotonya. Tapi setelah membaca data-data yang tertulis di kertas itu tak ada alasan untuk menolaknya.” Aku menceritakan detail kejadiannya.
“ Lalu kak?” Si nomor empat memotong.
“Lalu hari ahad kami bertemu. Pertemuan pertama dalam rangka ta’aruf. Saat itu pertemuan diadakan di rumah umi Rahma. Kak Syah datang lebih awal, beberapa menit kemudian disusul dengan kedatangan dari pihak lelaki.”
“Lalu kak, bagaimana wajah calon kakak ipar kami itu?” Si bungsu penasaran.
Kuperhatikan si nomor tiga berhenti membaca bukunya, dia mulai mendengarkan.
“Tunggu dulu, dengarkan cerita lengkapnya… baru bertanya…!”
“Iya kak Syah.” Jawab si bungsu dan si nomor empat serentak.
 “Jadi, ketika rombongan lelaki masuk, kakak masih menunduk… dag dig dug jantung dibuatnya. Sebenarnya penasaran juga ingin lihat tampang si lelaki. Tapi ngak berani mengangkat muka. Dari pihak lelaki memulai perbincangan. Lalu kak Hafsyah mengankat kepala. Tak sengaja terlihatlah dia.” Aku diam sejenak.
“Jadi kak. bagaimana orangnya?” Si bungsu bawel lagi
“Ya kak Syah… kasih gambaran dong gimana?” Si nomor lima ikutan bawel.
“Ya kak Syah, pelit amat sih, nggak mau cerita.” Si nomor empat ngambek.
“Kak Syah payah, cerita sepotong-sepotong.” Akhirnya si nomor tiga angkat bicara.
“Tenang-tenang… akan kak Syah ceritakan.” Ujarku sambil tersenyum penuh kemenangan. Dia mirip seperti…” kalimatnya sengaja aku tahan.
“Seperti siapa kak?” Tanya mereka serentak.
Aku masih diam.
“Bilang dong kak… seperti siapa?” Si bungsu penasaran.
“Seperti Bambang Pamungkas.” Jawabku sambil tersenyum lebar.
“Masak iya sih kak?” mereka bertanya serentak lagi.
“Ya… iyalah….”
“Cool kayak Bepe ya kak? Si nomor lima menebak.
“Kulkas kali… “ Si bungsu memotong.
Aku masih diam… sengaja membiarkan mereka makin penasaran.
“Mukanya kak yang mirip?” si nomor tiga menyelidik, ragu pada apa yang tadi aku katakan.
“Ya bukan atuh… miripnya sama-sama suka main bola.” Aku tertawa geli.
Mereka merebahkan diri ke tempat tidur serentak. Menirukan gaya orang yang tiba-tiba pingsan. Sementara aku tertawa hingga sakit perut. Kena mereka aku kerjain.
“Yah… nggak seru ceritanya.” Si nomor tiga hengkang. Diikuti si nomor empat, lima dan enam.
“Dada….” Aku melambaikan tanganku ke arah adik-adikku itu. Tampak sekali mereka semua kesal. Salah sendiri, orang lagi capek baru saja sampai dari pulau Jawa, mereka sudah mengganggu. Itu cara pengusiran yang halus. Aku tahu kalau mereka jengkel pasti langsung pergi dari kamarku. Hahaha…. Kurebahkan badanku ke kasur. Empuk sekali. Sudah lama tidak tidur di kasur seempuk ini. Wellcome home.
“Buuuuk….” Kepalaku membentur lemari. Sontak aku terbangun…
“Aduh… sakit sekali.” Kubuka mataku… kulihat setiap sudut kamar. Haaah… masih di Bogor. Ternyata hanya mimpi… huft…***


Cerita hanya fiktif belaka… hehe… dibuat karena bosan mengerjakan tugas sepanjang hari… hahay… ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar