Laman

Hikmah Ikhlas

Sabtu, 08 Januari 2011

Hidayah Untuk Risa

Terangnya sinar mentari mulai meredup, sang surya mulai condong ke barat. Hari ini cukup melelahkan, senja pun datang menjemput. Tetapi hidayah untukku selalu bersinar, sehingga lelah terbayar tunai. Aku masih berjalan menyusuri koridor, kampus mulai sepi. Sore seperti ini yang selalu ada keramaian pasti di sekitar lapangan basket.
Ada sesuatu yang mengusikku dalam ingatan. Sudah sebulan Resi tak mengirimiku kabar, apakah dia baik-baik saja. Terakhir kali ia mengirimiku fotonya, jilbab pink yang dikenakannya menambah cantik wajahnya. Aku rindu padanya.
Setahun sudah setelah lulus SMU, Resi kuliah di luar negeri. Aku sangat sedih, baru kali ini Resi sahabatku dari kecil tak ada di sampingku. Sedangkan aku lulus di Perguruan Tinggi Negeri masih di sini, tak masalah. PTN-ku juga termasuk yang favorit di kota ini. Di sini aku mulai mengenal Islam lebih dalam.
***
Kami berdua memang berteman sejak kecil, rumah kami satu gang, sudah seperti semangka dibelah dua. Aku dan Resi lagi-lagi duduk sebangku.
“Si boleh pinjam penghapusnya?” Haris bertanya. Resi menggambil penghapus yang ada di dalam kotak pensil barunya berwarna merah jambu, kemudian ia memberikan penghapus itu kepada Haris.
Resi menyodorkan penghapus itu dengan tangannya.
“Iya, letakkan saja di meja.” Haris berkata sambil menunjuk ke arah meja, mengarahkan. Setelah menggunakan penghapus dia mengembalikan penghapus Resi dengan cara meletakkannya di ujung sebuah penggaris, kemudian disodorkannya ke arah Resi, padahal jarak antara meja Haris dan Resi tak terlalu jauh. Resi mengambil penghapus itu sambil keheranan. Resi memandangiku, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, kucir rambutnya bergoyang-goyang.
”Ada yang salah ya Sa?” Resi bertanya padaku.
“Ah gak apa-apa kok.” Ujarku. Padahal aku juga heran dengan sikap Haris. Semenjak itu, mulailah Aku dan Resi sering memperhatian Haris.
Dari hasil pengamatan kami sebagai Detektif alias tukang kuntit. Kami dapatkan beberapa kesimpulan. Haris tidak seperti kebanyakan teman-teman cowok di kelas kami. Ia selalu menunduk ketika berbicara dengan cewek, kecuali pada awal pembicaraan. Dia juga pemalu, tapi kalau masalah pelajaran tidak memalukan. Tak mau salaman atau bersentuhan dengan cewek apalagi nyolek-nyolek. Tidak merokok dan juga pacaran seperti kebanyakan playboy cap karung di kelas. kerjaannya sembahyang mengaji (si Doel kali). Kata teman-teman dia mantan ketua Rohis di sekolah kami. Hmmm, mantap juga ini anak...! Tapi tetap saja aneh bagiku dan Resi.
Aku dan Resi penasaran, sebenarnya kenapa Haris jadi seperti itu, kami putuskan untuk bertanya langsung padanya, biar kami puas.
“Sa yakin ya kita tanya langsung.” Sepertinya Resi mau berubah pikiran.
“Yakin…!” Aku meyakinkan Resi kembali.
“Ya udah sekalian aja kita konsultasi agama.” Resi nyengir-nyengir tak jelas.
“Alaah, bilang aja mau ngeliatin Haris kan? Hayoo mengaku!” Aku memastikan.
“Yee, curigaan aja ini anak.” Ujar Resi. Wajahnya cemberut kayak jeruk purut.
Kami menghampiri Haris yang sedang duduk di bangkunya. Resi mulai bertanya. “Memang apa yang salah, kenapa kamu tidak mau melihat kami kalau lagi berbicara, lalu mengembalikan penghapus diletakkan di ujung penggaris, memangnya aku najis ya. Kenapa?” Resi menatap Haris dalam-dalam. Lagi-lagi Haris tertunduk malu, mungkin malu dikeroyok dua cewek centil.
“Astaghfirullah, ‘Afwan ya.” Haris mulai menjelaskan. ”Bukannya kenapa-kenapa, tapi ana takut dosa.”
“Eh tunggu dulu....” Aku memotong pembicaraan. “Afwan itu apa, ana itu apa, Risa nggak ngerti, bahasa apa itu?” Aku mengerutkan keningku tanda tak mengerti.
“Eh, dasar katrok.” Resi menirukan gaya Om Tukul. “Afwan itu maaf, kalo Ana itu saya, makanya kemarin diajak nonton AAC tak mau, coba kalau nonton kan jadi nggak ketinggalan bahasa gaul..!” Resi menjelaskan sok pintar.
“Bahasa gaul?” Haris melongo mendengarkan penjelasan Resi dan keheranan. “Bukan….” Ujar Haris. Belum selesai Haris menjelaskan Resi memotong lagi.
“Eh bukan-bukan, bahasa Arab gitu.”
“Ya, itu baru benar.” Haris tersenyum geli.
“Eh jadi yang tadi maksudnya apa?” Resi memandang Haris sambil melotot.
“Wah susah ini menjelaskannya, mendingan ukhti berdua tanya sama ‘akhwat-akhwat’ di sebelah sana saja ya, biar lebih enak ngobrolnya.” Haris menunjuk ke arah teman cewek di kelas kami yang berjilbab lebar yang sedang berkumpul berdiskusi setelah jajan di kantin tadi.
“Ooo… tidak bisa begitu.” Resi menegaskan. Kali ini wajahnya benar-benar serius, aku saja sampai takut. Wuih seram.
“Oke… oke baiklah.” Haris mengalah layaknya prajurit yang kalah perang, mengangkat tangan sambil mengibar-ngibarkan bendera putih di udara. “Pertama, ujar Haris menegaskan. Ukhti berdua belum menutup aurat jadi ana bisa berdosa melihat yang bukan hak ana, makanya ana lebih sering menunduk. Kedua, lebih baik memegang bara api dari pada menyentuh wanita yang bukan muhrimnya, ketiga, lagipun wudhu jadi batal kan kalo bersentuhan dengan yang bukan muhrimnya, yang keempat, ‘Afwan kalo menyakiti hati ukhti sekalian.” Haris menunduk lagi.
Aku dan Resi berpandangan sambil melihat dari bagian atas sampai bawah. Kami tersadar pakaian yang kami gunakan sangat jauh berbeda dengan anak-anak rohis putri, tapi apa segitu parahnya dosa tak menutup aurat. Kami bingung, karena memang tidak mengerti…!
“Memang kalau tidak menggunakan jilbab kenapa? Kan yang penting kami berdua baik, centil-centil begini juga kami berdua rajin Shalat, ya kadang juga bolong-bolong, tapi rajin kok.” Aku meyakinkan Haris.
“Wah bagaimana ya.” Haris memegang dagunya dan mengerutkan keningnya. Kemudian ia mulai menjelaskan lagi. “Menutup aurat itu kan perintah Allah SWT. Ketika kita menjalankan perintah-Nya maka akan diganjar dengan pahala. Nah selain berpahala, salah satu manfaat menutup aurat, wanita akan dihargai, jadinya tidak diganggu, menutup aurat itu kewajiban wanita muslim, tidak bisa ditawar-tawar, itu juga salah satu pembeda mereka dengan wanita bukan muslim, jelaskan, bagaimana?”
Aku dan Resi tertunduk malu, "Iya juga sih," ujar kami serentak. “Wajib ya?” lagi-lagi serentak. Kami bertanya meyakinkan.
“Iya…!” Ujar Haris memastikan. Sesaat Sunyi, mungkin sedang berfikir.
“Tapi, Resi belum sanggup,” suara Resi tiba-tiba memecah sunyi.
“Risa juga belum siap,” aku menambahkan.
“Bagaimana ya?” kami mengucapkan kalimat yang sama lagi. Kompak sekali.
***
“Ssttttttttt…. Buuuk…”
Bola basket melesat cepat, melintas tepat di depan wajahku, nyaris saja. Aku berjalan sambil melamun, sampai-sampai tak sadar bola basket itu hampir saja mencium pipiku. Detak jantungku berjalan cepat sangking kagetnya.
Aku berjalan melintasi lapangan basket. Terlihat beberapa orang pemuda sedang asyik bermain basket, sebagian lagi duduk-duduk di pingiran lapangan. Tapi kenapa ada perasaan aneh. Ada seorang pemuda yang sedang menonton basket tapi sekarang sedang menatapku. Sambil tersenyum.
Aku terus berjalan, tak menghiraukan orang aneh itu. Jilbab biru muda yang aku kenakan berkibar-kibar diterpa angin sepoi-sepoi nan sejuk. Baju dan rok yang kugunakan padu padan sehingga aku terlihat anggun, menggunakan sepatu khas wanita lengkap dengan kaus kakinya, padahal dulu tidak seperti itu, aku bisa tersenyum-senyum jika mengingat keadaanku dulu terkadang juga beristighfar berkali-kali jika mengingat betapa jahilnya aku saat itu.
“Ukhti Risa….” Dia memanggil. “Assalamu’alaikum… ukhti Risa, sudah berubah ya,” ia tersenyum lepas.
Aku berusaha mengingat ingat dengan keras. Tiba-tiba. Ya aku ingat orang itu, Haris namanya. Eits, tunggu dulu, kenapa dia senyum-senyum begitu? Apa ada yang salah dengan ku? Aku keheranan.
Wa’alaikum salam, ya Alhamdulillah.” Ujarku sambil membalas senyumnya. Namun ia tak berkata apa-apa lagi. Hanya tersenyum sambil memandangiku. Kelakson angkutan umum pun berbunyi berkali-kali, tandanya pak supir tak mau lagi menunggu.
“Duluan ya,” ujarku.
“Ya silahkan,” balasnya masih tersenyum.
Aku segera menaiki angkutan umum, berlalu meninggalkannya. Kupandangi ia dari jauh, tak ada yang berubah dari senyumnya. Tapi perubahan sikapnya membuatku sedih. Celana jins robek-robeknya itu menandakan dia bukan Haris yang aku kenal. Ditambah lagi seorang cewek cantik berambut panjang bergelombang yang entah dari kapan menempel kayak perangko di sampingnya. Terlihat sedang sibuk dengan HP-nya. Sesekali cewek cantik itu dengan manja menyandarkan kepalanya di bahu Haris. Sedangkan Haris dengan santainya menikmati permainan bola basket. Pemandangan yang memilukan bagiku yang mengenal dengan baik siapa Haris.
“Ya Allah, apa yang terjadi dengan temanku itu?” Tanpa sadar air mataku menetes, sedih sekali, dalam hatiku bergumam, “tak semua orang mendapatkan hidayah sepertimu Haris, lantas mengapa engkau sia-siakan wahai temanku?”
***

*************************************************************** 
Ingin aku katakan....
Mungkin saat itu dakwah kalian belum berbekas padaku.
Namun berjejak dimasa kini....
Aku sudah "Bermetamorfosis" kawan.
Layaknya kupu-kupu.... Ingin ku perlihatkan pada kalian sayap-sayap menawanku.
Berharap kalian senang, karena tak ada yang sia-sia waktu itu.
Namun.... Bagaimanakan kuperlihatkan "sayap-sayapku"
Jika kalian kembali menjadi "ulat bulu"????

~Berharap Istiqomah hingga akhir hayat....
Insya Allah....

NB:
Kisah ini hanya fiktif belaka... jika ada nama, tempat dan kejadian yang sama... kadang2 memang disengaja.
Hehehe...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar