Laman

Hikmah Ikhlas

Sabtu, 09 April 2011

Belajar Dari Sejarah Islam: Menyikapi Berita


Ujian Berat Aisyah ra


Berita yang bernada fitnah itu pun terus menyebar. Mengenai istri Rasulullah s.a.w. ‘Aisyah r.a. Ummul Mu’minin. Peristiwa ini terjadi setelah perang dengan Bani Mushtaliq bulan Sya’ban 5 H. Peperangan ini diikuti oleh kaum munafik, dan turut pula ‘Aisyah dengan Nabi berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau. 
Dalam perjalanan mereka kembali dari peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat. ‘Karena suatu keperluan Aisyah keluar dari sekedupnya (tandu yang diberi hijab) kemudian kembali. Tiba-tiba dia merasa kalungnya hilang, lalu dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan dugaan bahwa ‘Aisyah masih ada dalam sekedup. Setelah ‘Aisyah mengetahui sekedupnya sudah berangkat, dia kemudian duduk di tempatnya dan mengharapkan sekedup itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat ditempat itu seorang sahabat Nabi, Shafwan ibnu Mu’aththal. Ia melihat seseorang sedang tidur sendirian dan dia terkejut seraya mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, istri Rasul!” ‘Aisyah terbangun. Lalu dia dipersilahkan oleh Shafwan mengendarai untanya. Syafwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. 

Orang-orang yang melihat mereka membicarakannya menurut pendapat masing-masing. Mulailah timbul desas-desus. Abdullah bin Ubay (salah seorang tokoh munafik) ikut-ikutan membesar- besarkannya. Maka fitnah atas ‘Aisyah r.a. itupun bertambah luas, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum muslimin. Tidak hanya kalangan sahabat saja akan tetapi Rasulullah pun mengalami demikian. Namun akhirnya Allah menurunkan surat Annur ayat 11 untuk menjawab semua tuduhan itu: ”Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu  baginya azab yang besar.”

Meletusnya Perang Jamal
Masih ingatkah kita dengan perang ini?(baca: perang Jamal). Perang ini mengingatkan kita mengenai perpecahan yang terjadi antara dua kelompok besar kaum muslimin pada era pemerintahan khalafaurrasyidin. Yaitu kelompok pimpinan Ali bin Abi Thalib yang pada saat itu telah dibai’at menjadi khalifah pengganti Utsman ra yang baru saja terbunuh. Sedang kelompok yang lain dipimpin oleh Ummul mukminin Aisyah ra, Thalhah dan Zubeir.


Pihak Aisyah menuntut kepada Ali ra agar pembunuh Utsman ra segera diusut. Sebenarnya Ali pun telah bersepakat mengenai hal ini dan segera menuntaskannya. Namun, karena kelompok pembunuh Ustman tidak menyukai kesepakatan ini, maka munculah usaha-usaha untuk menggagalkannya. Dan berhasil. Ditandai dengan meletusnya perang Jamal. Boleh dibilang perang Jamal adalah perang saudara terbesar sepanjang sejarah Islam. Bahkan Rasulullah sudah memprediksi akan terjadinya peristiwa ini “Tidaklah terjadi kiamat itu sampai berperangnya dua kelompok besar dan dakwa (seruan) mereka satu.” (HR Bukhori dan Muslim). Sahabat Hudzaifah pun pernah berpesan mengenai hal ini, “bagaimana kalian suatu ketika akan membiarkan orang-orang diantara kalian akan saling membunuh dalam dua kelompok? orang-orang bertanya : wahai abu abdillah, apa saran anda jika kami ada ketika itu? Hudzifah berkata : lihatlah kepada kelompok orang yang membela Ali, karena sesungguhnya mereka diatas kebenaran. Teringat pesan ini, maka Zubeir lebih memilih untuk mundur dan meninggalkan pertikaian ini. Perang ini akhirnya dimenangkan oleh Ali ra dan ditutup dengan damai dan kembalinya persaudaraan kaum muslimin kala itu.

Penyikapan Terhadap Berita
Dua peristiwa di atas mengandung hikmah luar biasa yang layak kita renungi. Yaitu bagaimana menyikapi sebuah berita tentang saudara, sahabat, atasan ataupun pimpinan kita hendaklah proporsional dan wajar. Entah itu berita buruk maupun baik. Di satu sisi tidak berlebihan dalam membenarkan dan sisi yang lain tidak menjustifikasi salah. Apalagi posisi kita pada saat itu tidak mengerti betul persoalan yang terjadi.


Hendaklah setiap kita mampu menahan diri untuk berkomentar, menjustifikasi secara berlebihan sebelum melakukan tabayyun (cross check) akan kebenaran berita tersebut sebagaimana hadits Rasulullah “Janganlah kalian saling mendengki, dan janganlah kalian saling membenci, dan janganlah kalian saling berkata-kata keji, dan janganlah kalian saling menghindari, dan janganlah kalian saling meng-ghibbah satu dengan yang lain, dan jadilah hamba-hamba ALLAH yang bersaudara.” (HR Muttafaq ‘alaih).


Dan dari Mujahid dari Abu Ma’mar berkata: Berdiri seseorang memuji seorang pejabat di depan Miqdad bin Aswad secara berlebih-lebihan, maka Miqdad mengambil pasir dan menaburkannya di wajah orang itu, lalu berkata: Nabi SAW memerintahkan kami untuk menaburkan pasir di wajah orang yang gemar memuji. (HR Muslim)


Jadilah manusia yang cerdas dalam berpikir dan tajam dalam analisa. Kritis tak harus anarkis, vokal tak mesti brutal…
Wallahua’lam (ah)

Copas dr FB Nofi Rosandi pada 09 April 2011 jam 16:44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar